Senin, 05 Oktober 2015

HUKUM HINDU

Tags



SUMBER-SUMBER HUKUM HINDU
Peninjauan sumber hukum dapat kita lihat dalam berbagai kemungkinan. Peninjauan ini dibenarkan berdasarkan ilmu hukum, mengingat pengertian sumber hukum itu sendiri tidak ada persamaan.
1. Sumber Hukum Hindu menurut Sejarah
Sumber hukum Hindu dalam arti sejarah adalah sumber hukum Hindu yang digunakan oleh para ahli hindulogi dalam peninjauannya dan penulisannya mengenai pertumbuhan dan kejadian hukum Hindu itu terutama dalam rangka pengamatan dan peninjauan masalah aspek-aspek politiknya, filosofinya, sosiologinya, kebudayaannya dan hukumnya sampai pada bentuk materiil yang tampak berlaku pada satu masa dan tempat tertentu.
Peninjauan sumber hukum Hindu secara historis ditujukan pada penilaian data-data mengenai berlakunya kaidah-kaedah hukum berdasarkan dokumen tertulis yang ada. Kemungkinan kaidah-kaedah berasal dari pra-sejarah ditulis dalam jaman sejarah, dapat dinilai sebagai satu proses pertumbuhan sejarah hukum dari satu phase ke phase yang baru.
Berdasarkan pengertian sumber tertulis, peninjauan sumber hukum Hindu dilihat berdasarkan penemuan dokumen yang dapat kita baca dengan melihat secara umum dan intensitasnya. Menurut bukti-bukti sejarah dokumen tertua yang membuat pokok-pokok hukum Hindu, pertama-tama kita jumpai di dalam Weda yang dikenal dengan nama sruti. Kitab Weda Sruti tertua adalah kitah Rg Weda yang diduga mulai ada pada tahun 2000 SM-1000 SM, ajaran hukum yang ada masih bersifat tradisional dimana isi seluruh kitab weda itu disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi yang baru.
Adapun kitab-kitab berikutnya yang merupakan sumber hukum pula timbul dan dikembangkan pada jaman berikutnya, dalam jaman smerta. Dalam jaman ini terdapat yajur Weda, Atharwa Weda dan Sama Weda. Kemudian berkembang pula kitab Brahmana dan Aranyaka.
Phase II dalam sejarah pertumbuhan sumber hukum adalah adanya kitab Dharma sastra yang merupakan kitab undang-undang murni dibandingkan dengan kitab sruti. Kitab ini dikenal dengan kitab smerti, jenis buku-buku ini banyak dan mulai berkembang sejak abad ke X SM. Kitab Smerti ini terutama dibagi menjadi enam bidang kodifikasi, mulai dari ilmu bahasa sampai pada agama. Keenam itu disebut sad wedangga. Dari enam wedangga itu, yang terpenting untuk bidang hukum adalah dharma sastra (ilmu hukum). Menurut bentuk penulisannya dapat dibedakan antara dua macam yaitu:
a) Sutra, yaitu bentuk penulisan yang amat singkat, semacam aphorisme.
b) Sastra, yaitu uraian-uraian panjang atau yang lebih terurai.
Antara kedua bentuk itu, bentuk sutra dianggap paling tua yang ditulis ± tahun 1000 SM. Adapun bentuk sastra kemungkinan ditulis pada abad ke VI SM. Dari dua penemuan di atas, hubungan antara sruti dan smrti ditetapkan pada kitab smrti sebagai sumber dokumen tertulis yang baru. Smerti merupakan sumber baru yang menambah jumlah kaedah hukum yang berlaku bagi masyarakat Hindu. Dengan demikian kita melihat adanya sistem di dalam smrti yang dapat kita simpulkan dalam dua hal, yaitu:
a) Kaidah yang berlaku sebelumnya dinyatakan berlaku dalam satu ketepatan.
b) Selama kaidah itu tidak dihapuskan secara tegas, ketentuan hukum yang baru                    berlaku bersama-sama dengan kaedah-kaedah hukum yang telah ada.
Satu kemajuan dalam sejarah hukum Hindu ialah adanya pengesahan berlakunya adat istiadat sebagai sumber hukum baru disamping kitab smrti. Dalam ilmu sejarah, perkembangan dan pembagian berlakunya hukumpun dapat kita jumpai yaitu:
a) Manawadharmasastra berlaku untuk jaman Krta Yuga
b) Gautama dharmasastra berlaku pada jaman treat
c) Samkha-likhita Dharmasastra berlaku pada jaman Dvapara
d) Parasara Dharmasastra berlaku pada jaman Kali.
Empat bentuk Dharmasastra di atas, hanya penting kita lihat dalam rangkaian pengertian sumber hukum dalam arti sejarah bukan materiil karena Manawadharmasastra yang dikatakan berlaku pada jaman Krta Yuga berlaku pula pada jaman Kali.
Sejarah pertumbuhan hukum Hindu lebih jauh ditandai oleh adanya pertumbuhan tiga madzab dalam hukum Hindu, yaitu:
a) Aliran yajnawalkya oleh Yajnaneswara
b) Aliran Mitaksara oleh Wijnaneswara
c) Aliran Dayabhaga oleh Jimutawahan
Adanya kritikus-kritikus sistem yang membahas berbagai aspek hukum Hindu bertanggung jawab bagi lahirnya aliran-aliran hukum tersebut. Akibatnya timbul sebagai masalah hukum yang relatif menimbulkan variabilitas kaidah-kaidah hukum Hindu antara berbagai daerah.
Dua Aliran hukum yang terakhir itu mulai berpengaruh di Indonesia, terutama Aliran Mitaksara, dengan berbagai pengadaptasiannya. Yang terpenting dalam sumber hukum dalam arti sejarah lainnya adalah adanya Rajasasana yang dituangkan dalam berbagai prasasti dan paswara-paswara yang merupakan yusprudensi hukum Hindu dilembagakan oleh raja-raja Hindu. Inilah hal-hal yang tampak pada kita secara garis besarnya mengenai sumber-sumber hukum Hindu didasarkan atas sejarahnya.
2. Sumber Hukum Hindu menurut Sosiologis
Sosiologi mempelajari ilmu kemasyarakatan. Masyarakat adalah kelompok manusia pada daerah tertentu yang mempunyai hubungan, baik hubungan budaya, agama, bahasa, dan lain-lainnya. Pemikiran atau perenungan berbagai kaidah hukum tidak lepas dari pandangan-pandangan masyarakat setempat. Lebih-lebih hukum itu bersifat dinamis dan berkembang.
Dalam mempelajari data-data tertentu yang bersumber pada weda, seperti Manawadharmasastra II, secara tegas menandaskan bahwa sumber dharma atau hukum tidak saja Sruti dan Smrti tetapi juga sila (tingkah laku orang-orang beradab), acara (adat-istiadat atau kebiasaan setempat) dan Atmanastuti (apa yang memberi kepuasan pada diri sendiri).
Tanpa mengabaikan faktor sejarah pertumbuhan masyarakat itu sendiri, berkembangnya masyarakat sampai pada bentuk-bentuknya yang tertentu ini menyebabkan kita tidak dapat mengabaikan faktor sosiologis masyarakat itu, dalam pengamatan sosiologi tidak didasarkan pada faktor waktu, tetapi bentuk tata kemasyarakatan pada waktu itu.
Hukum tidak memperlakukan atas dasar waktu walaupun masalah waktu berpengaruh pada pertumbuhan hukum itu. Demikian pula hukum Hindu yang disebut dharma. Penerapan Dharma didasarkan pada azas-azas tertentu yang disebut berdasarkan samaya (waktu), desa (lokal, tempat, daerah, wilayah), acara (kebiasaan), kula (keluarga), warna (golongan), samanya (sifat-sifat umum) yang berarti ilmu sosiologi berperan sekali dalam menunjang sumber-sumber hukum Hindu itu.
3. Sumber Hukum dalam Arti Filsafat
Filsafat adalah ilmu pikir. Dalam ilmu filsafat terlibat berbagai macam ilmu terutama ilmu etika, epistemology dengan metafisika. Etika membahas berbagai konsep pandangan tentang nilai yang dianut baik oleh masyarakat tertentu maupun masyarakat umum. Nilai adalah “guna dharma” yang di dalam pandangan barat dibedakan antara “value” dengan “moral”, dan dalam bahasa sehari-hari katakana “susila” atau “dharma’.
Arti kata atau makna dan tujuan istilah sila atau susila dan dharma harus diartikan sebagaimana halnya, ada juga diartikan secara terbatas. Penafsiran kata sila dan dharma secara terbatas dapat dibatasi arti hukumnya. Filsafat membimbing manusia tidak saja pandai tetapi juga dimaksudkan untuk mencapai Sonumbonum manusia yang dalam agama Hindu disebut “moksa”.
Untuk mencapai tingkat kebahagiaan itu ilmu filsafat Hindu menegaskan sistem dan metode pelaksanaannya seperti;
a) Harus didasarkan pada dharma
b) Harus diusahakan melalui keilmuan (jnana)
c) Hukum didasarkan pada kepercayaan (sadhana)
d) Harus didasarkan pada usaha-usaha yang terus menerus dengan pengendalian                 (danda) seperti pengendalian pikiran (mano danda) pengendalian tulisan kata                      (wrg/wak danda) dan pengendalian tingkah laku (kaya danda).
e) Harus ditebus dengan usaha prayascita (pensucian)
Dalam arti epistemology atau ilmu pengetahuan, filsafat Hindu tidak saja mengajarkan tentang arti kata, tetapi juga sistem dan mencoba pencapaian buah pikiran dalam Pemakaian kata-kata itu. Kurangnya tantangan dan penerimaan kita terhadap filsafat sebagai sumber hukum adalah karena kita beranggapan bahwa filsafat adalah metafisika, sedangkan metafisika boleh dikatakan hampir tidak diperlukan sama sekali dalam bidang hukum kecuali sebagai idiologi yang dianut oleh masyarakat pendukung hukum itu sendiri.
Sebaliknya kalau kita menyadari bahwa hukum itu adalah menyangkut hipotesa hukum yang diperlukan. Agama tidak saja mengajarkan bagaimana manusia menyembah tuhannya tetapi juga memuat filsafat, hukum dan lain-lain. Oleh karena itu dimana filsafat terutama bersumber pada agama maka ajaran-ajaran kefilsafatannya itu karena dilihat pada hukum kenoniknya yang terdapat di dalam kitab sucinya itu. Dharmasastra adalah kitab kanonik agama Hindu yang memuat berbagai masalah hukum dilihat dari sistem kefilsafatannya, sosiologinya dan bahkan dilihat dari aspek politik.
4. Sumber Hukum dalam Arti Formal menurut Weda
Menurut Van Apeldoorn, sumber hukum dalam arti formil ialah sumber hukum berdasarkan sumber yang dibuat berdasarkan bentuk yang dapat menimbulkan hukum positif itu artinya dibuat oleh badan atau lembaga yang ada.
Yang merupakan sumber hukum dalam arti formil dan bersifat pasti berdasarkan:
a) Undang-undang
b) Kebiasaan
c) Traktat
Ada juga penunjukkan jenis sumber dengan menambahkan yurisprudensi dan pendapat ahli hukum. Dengan demikian akan kita lihat susunan sumber hukum itu sebagai berikut:
a) Undang-undang
b) Kebiasaan dan adat
c) Yurisprudensi
d) Pendapat ahli hukum yang terkenal
Sistematika susunan sumber hukum di atas, dianut pula dalam hukum international, sebagaimana tertera dalam ps. 38 Piagam Mahkamah International dengan menambahkan asas-asas hukum yang diakui oleh berbagai bangsa yang beradab sebagai sumber hukum pula. Dengan demikian terdapat susunan hukum sebagai berikut:
a) Traktat international yang kedudukannya sama seperti UU terhadap negara itu.
b) Kebiasaan international
c) Azas-azas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
d) Keputusan-keputusan hukum sebagai yurisprudensi bagi suatu negara
e) Ajaran-ajaran yang dipublisir oleh para ahli dari berbagai negara hukum tersebut                  sebagai alat tambahan dalam bidang pengetahuan hukum.
Sangat menarik perhatian kita ialah bahwa sistem dan azas yang dipergunakan mengenai masalah sumber hukum itu terdapat pula di dalam Weda, terutama kitab Manawadharmasastra uraian II 6-14. Menurut Weda, dan kitab Manus II.6 mrti sumber hukum (dharma) adalah:
a) Sruti
b) Smrti
c) Sila
d) Acara
e) Atmanastuti
Sruti, menurut penafsiran otentis dalam kitab Smrti itu ialah Weda dalam arti sruti, yaitu wahyu-wahyu yang dihimpun dalam beberapa buah buku, disebut mantra samhita (terdiri atas empat buku, yaitu Rg Weda, Yajur Weda, Atharwa Weda dan Sama Weda). Dalam hal ini Smrti merupakan peraturan atau ajaran-ajaran yang dibuat sebagai ajaran atau pedoman berdasarkan Sruti. Karena itu smrti dalam arti perundang-undangan dalam suatu negara adalah sebagai UU, baik UU Organik maupun UU Anorganik.
Di dalam Manadharmasastra II. 10 dikatakan:
Srutistu Wedo wijneyo dharmasastra tu wai smrtih,                                                                te sarwathawam imamsye tabhyam dharmohi nirbabhau.
Terjemahan:
Sesungguhnya Sruti adalah weda, Smrti itu dharmasastra, keduanya                                   tidak boleh diragukan apapun juga karena keduanya adalah kitab suci                                  yang menjadi sumber dari pada hukum (dharma).
Dari pasal itu, jelas bahwa sruti yang ditunjuk oleh pasal-pasal itu adalah weda. Sebagaimana dengan halnya weda itu, baik weda dan dharmasastra oleh pasal ini dinyatakan dengan tegas sebagai sumber hukum. Selanjutnya mengenai weda sebagai sumber utama, dapat kita lihat dari pasal II. 6 yang dirumuskan sebagai berikut.
“wedo’khilo dharma mulam smrti sile ca tad widam,
Acarasca iwa sadhunam atmanas tustirewa ca.
Terjemahan:
Seluruh Weda merupakan sumber utama daripada hukum,                                                    kemudian barulah smrti dan tingkah laku orang-orang baik,                                                    kebiasaan dan akhirnya atmanastuti (rasa puas dari diri sendiri).
Weda dalam bidang ilmu menyangkut bidang yang sangat luas sehingga sruti dan smrti diartikan weda dalam tradisi Hindu. Adapun kitab-kitab yang tergolong jenis kitab Sruti menurut tradisi Hindu adalah kitab-kitab mantra, brahma dan aranyaka. Kitab-kitab mantra terdiri atas empat buah buku, yaitu Rg. Weda, sama Weda, yajur weda dan atharwa weda. Kitab Brahma yang merupakan bagian-bagian tiap-tiap kitab sruti.
Kedudukan kitab-kitab sruti yang demikian banyaknya itu menyebabkan kesulitan-kesulitan di dalam meninjau masalah-masalah sumber hukum itu. Demikian ada di dalam menggunakan sebagai sumber utama dalam menentukan atau menemukan kaidah-kaidah mana yang harus diperlukan semua ketentuan-ketentuan ini berlaku, artinya keduanya dapat digunakan menurut pilihan, tanpa membatalkan diantara hukum yang bertentangan.
Di samping itu, smrti dijelaskan di dalam manusmerti sebagai dharmasastra. Dharma adalah kebiasaan-kebiasaan atau hukum berdasarkan ada tertulis. Pengertian ini dibedakan dari acara yang lazimnya diartikan sama dengan kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi tidak tertulis. Smrti bersifat pengkhususan yang memuat penjelasan-penjelasan otentis.
Himpunan inilah yang disebut Dharmasastra atau Manawadharmasastra. Kitab ini merupakan bagian dari enam buah kitab weda dan merupakan bagian daripada Weda. Karena itu Manawadharmasastra adalah kitab Wedangga. Kelompok jenis kitab Smrti lainnya adalah kelompok Upaweda. Dengan demikian kitab Smrti sebagai sumber Hindu dibedakan antara dua macam kelompok yaitu: 1. Kelompok jenis wedangga, dan 2. Kelompok Upaweda (weda tambahan).
Kitab Dharmasastra terdiri dari banyak buku yang penulisnya berbeda-beda. Dari penelitian yang pernah dilakukan terdapat deretan nama-nama penulis dharmasastra bersama dengan Manu, sebagai berikut:
a) Manu,
b) Apastambha,
c) Bradhayana,
d) Wasistha,
e) Sankha Likhita,
f) Yajnawalkya dan
g) Parasara.
Di samping itu ada disebutkan 36 jenis kitab-kitab smrti yang utama dari beberapa sarjana. Tiga kitab smrti yang paling terpenting dan mungkin termasuk sebagai kitab-kitab smrti yang paling prinsip, antara lain;
a)  Manu smrti, adalah kitab yang paling penting. Manu Smrti adalah hukum tertinggi                yang merupakan sumbangan masyarakat Hindu. Kitab peraturan-peraturan                        tingkah laku masyarakat dan hukum yang tertulis oleh Manu yang dikenal                            dengan Manu Smrti,
b)  Yajnavakya Smrti, adalah peraturan-peraturan yang kedua terpenting dari hukum                 Hindu.
c)  Narada Smrti, ini adalah kitab peraturan-peraturan yang terpenting ketiga                             daripada hukum dan juga diketahui sebagai hukum Narada.
Selain yang disebutkan di atas juga terdapat dua kitab smrti yang penting artinya dalam perkembangan hukum pada saat itu yaitu; Brihaspati Smrti dsn Katyana Smrti (Gauri Shankar Tandon, tt: 3-4).
Di samping itu secara tradisional telah ditetapkan pengelompokan kitab Manawadharmasastra itu menjadi empat kelompok menurut jaman masing-masing, sesuai dengan adanya pembagian empat tahap periodesasi dunia. Keempat masa periode dunia dihubungkan dengan kitab Manawadharmasastra itu, ialah:
a) Jaman Satyayuga berlaku Dharmasastra Manu
b) Jaman Tirtayuga berlaku Dharmasastranya Yajnawalkya
c) Jaman Dwaparayuga berlaku Dharmasastranya Likhita
d) Jaman Kaliyuga berlaku Dharmasastranya Parasara.
Walaupun jaman sekarang tergolong jaman Kaliyuga tetapi hingga sekarang pengaruh dan penggunaan Manawadharmasastra sebagai sumber hukum tetap berlaku sedangkan himpunan Bhagawan Parasara hampir-hampir tidak banyak kita dengar.
Dari nama-nama tersebut di atas, Manulah yang terbanyak dan dianggap sebagai standar dari penulisan hukum itu. Nama Manu inilah yang selalu ditunjukkan oleh hukum Hindu di Indonesia yang dipergunakan sebagai patokan hukum dalam mengukur kaidah-kaidah hukum yang berlaku sebagai hukum adat di Bali dan Lombok.
Sila merupakan ajaran tingkah laku orang-orang yang beradab. Sebaliknya Sadacara adalah adat-istiadat yang hidup menurut tempat setempat yang merupakan hukum positif. Di dalam terjemahannya dalam bahasa Jawa Kuno istilah Sadacara diartikan sama dengan drsta. Baik drsta maupun acara adalah hukum kebiasaan.
Atmanastuti yaitu rasa puas pada diri. Rasa puas adalah merupakan ukuran yang selalu diusahakan oleh setiap manusia. Oleh karena itu rasa puas itu harus diukur atas arti publik atau umum. Penunjukkan rasa puas secara umum tidak dapat dibuat tanpa pelembagaannya. Weda mempergunakan sistem kemajelisan sebagai dasar ukuran untuk dapat terwujudnya rasa puas itu.
Untuk mencapai kepuasan, kepuasan harus didasar pada kebenaran yang mendekati kebenaran yang paling benar. Kebenaran yang dinyatakan berbeda dari kebenaran yang hakiki tidak menimbulkan rasa puas melainkan kekecewaan dan penderitaan. Kebenaran yang mendekati kebenaran yang paling benar ialah apabila yang mengatakan itu adalah orang-orang ahli. Orang ahli itu apakah disebut Wipra dan Brahmana. Ditegaskan pula lebih jauh bahwa, di antara bentuk kebenaran yang dinyatakan paling benar diantara para ahli ialah bila kebenaran itu telah dipertimbangkan berdasarkan berbagai cabang ilmu itu.
Menurut Manusmrti pasal II. 12, sumber hukum itu lebih dibatasi lagi dengan mengeluarkan “Sila” sebagai sumber hukum. Walaupun adanya penciutan atas sumber-sumber hukum Hindu itu, yaitu dengan tidak menyebutkan Sila sebagai sumber hukum Hindu, namun para sarjana hukum Hindu di India seperti Dr. P.N. Sen, Dr.G.C. sarkar dan lain-lain umumnya tetap beranggapan dan mengembangkan kelima macam jenis sumber hukum itu dan mempergunakan sistem penempatan urutannya seperti disebut di dalam Manusmrti II 6 tersebut di atas. Dengan demikian maka sumber-sumber hukum Hindu itu menurut ilmu dan tradisi adalah
a) Sruti,
b) Smrti,
c) Acara,
d) Atmanastuti,
e) Nibanda.
Kelima macam sumber hukum itu mula-mula dijumpai dalam Weda, kecuali Nibanda. Nibanda adalah nama kelompok buku atau tulisan yang dibuat oleh para ahli, yang isinya bersifat pembahasan atau kritik terhadap materi hukum atau masalah tertentu lainnya yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu.
Jenis-jenis rontal pun tergolong Nibandasastra, seperti Agamasastra, Kutaramanawa, Manusasana, Putrasasana, Rsi Sesana dan lain-lainnya. Kalau kita perbandingkan antara penulisan para sarjana hukum Hindu di India dengan apa yang dijumpai sebagai sumber hukum menurut Manawadharmasastra II.12, dapat kita simpulkan bahwa para sarjana hukum itu menerima sumber-sumber hukum yang empat secara bulat sedangkan Nibanda sebagai kelompok baru yang diperkenalkan. Walaupun pada hakekatnya Sila tidak lagi disebut-sebut sebagai sumber hukum namun dalam praktik, sila itu tetap mempengaruhi isi hukum-hukum Hindu baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon