TRI PURUSHA
Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Siwa sebagai salah satu aspek atau manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa, kita melebur kegelapan yang menghalangi budhi dan menerima sinar suci Tuhan. Jika budhi selalu mendapat sinar suci Tuhan, maka budhi akan menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat mengendalikan indria atau Tri Guna.
Kata Siwa berarti yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang, membahagiakan dan sejenisnya. (Monier,1990:1074). Siwa adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur kembali (aspek pralaya atau pralina dari alam semesta dan segala isinya). Siwa yang sangat ditakuti disebut Rudra (yang suaranya menggelegar dan menakutkan). Siwa yang belum dipengaruhi Maya (berbagai sifat seperti Guna, Sakti dan Swabhawa) disebut Parama Siwa, dalam keadaan ini, disebut juga Acintyarupa atau Niskala dan tidak berwujud. Istilah Siwa berasal dari bahasa Sanskerta yang dalam ajektivenya berarti mulia, dan dalam bentuk noun masculinenya bermakna dewa atau Tuhan (Sumawa, 1990:301)
Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah (pikiran). Manah menguasai indria. Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit didapat. Ia harus selalu diupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap. Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat jika disebut ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa” sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum mendalami agama.
Siwa adalah salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti) dalam agama Hindu. Kedua dewalainnya adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa adalah dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya. Dewa Siwa memiliki nama lain yaitu, Jagatpati, Nilakantha, Paramêśwara, Rudra, Trinetra. Bersenjatakan Tri sula, dengan Wahana Lembu Nandini. Beliau memiliki sakti diantaranya Dewi Parwati, Dewi Uma,Dewi Durga, Dewi Kali.
Dewa Siwa adalah dewata bagian dari Trimurti, yang bertanggung jawab terhadap penyerapan alam semesta. Beliau merupakan perwujudan dari sifat tamas, kelembaman sentrifugal. Kecenderungan menuju pelenyapan atau peleburan. Arti sebenarnya dari siwa adalah pada siapa alam semesta ini tertidur setelah pemusnahan dan sebelum siklus penciptaan berikutnya. Semua yang lahir harus mati. Segala yang dihasilkan harus dipisahkan dan dilenyapkan. Ini merupakan hukum yang tidak dapat dilanggar, prinsip yang menyebabkan keterpisahan ini, daya dibalik penghancuran ini adalah Siwa. Siwa jauh lebih banyak dari pada itu, keterpisahan alam semesta berakhir pada pengurangan tertinggi, menjadi kekosongan tanpa batas, substratum dari segala keberadaan, dari mana berulang-ulang muncul alam semesta yang nampak tanpa batas ini.
Umat Hindu, khususnya umat Hindudi India, meyakini bahwa Dewa Siwa memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan karakternya, yakni: Bertangan empat, masing-masing membawa: trisula, cemara, tasbih/genitri, kendi. Bermata tiga (tri netra), Pada hiasan kepalanya terdapat ardha chandra (bulan sabit), Ikat pinggang dari kulit harimau, Hiasan di leher dari ular kobra. Oleh umat Hindu Bali, Dewa Siwa dipuja di Pura Dalem, sebagai dewa yang mengembalikan manusia ke unsurnya, menjadi Panca Maha Bhuta. Dalam pengider Dewata Nawa Sangga (Nawa Dewata), Dewa Siwa menempati arah tengah dengan warna panca warna. Ia bersenjata padmadan mengendarai lembu Nandini. Aksara sucinya Idan Ya. Beliau dipuja di Pura Besakih. Dalam tradisi Indonesialainnya, kadangkala Dewa Siwa disebut dengan nama Batara Guru.
Tiga Lingga itu sebagai simbol sakral sebagai sarana pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa. Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa itu dalam fungsinya sebagai jiwa agung alam semesta. Siwa sebagai jiwa Bhur Loka. Sada Siwa sebagai jiwa agung Bhuwah Loka dan Parama Siwa sebagai jiwa Swah Loka. Tujuan pemujaan Tuhan sebagai Siwa jiwa agung Bhur Loka adalah untuk mencapai suka tanpa wali duhkha. Sebagai Sada Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tiada berpangkal dan tiada berujung. Sebagai Parama Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang bersifat niskala yang tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak mungkin diberikan ciri-cirinya. Demikian dinyatakan dalam pustaka suci Wrehaspati Tattwa.
Salah satu yang menarik dari keberadaan Dewa Siwa, ialah Beliau berada di mana-mana, di seluruh penjuru mata angin dan di pengider-ider. Di timur Ia adalah Iswara, di tenggara Ia adalah Mahesora, di selatan Ia adalah Brahma, di barat daya Ia adalah Rudra, di barat Ia adalah Mahadewa, di barat laut Ia adalah Sangkara, di utara Ia adalah Wisnu, di timur laut Ia adalah Sambhu dan ditengah Ia adalah Siwa. Sebagai Sang Hyang kala, di timur Ia adalah kala Petak (putih), di selatan Ia adalah Kala Bang (merah), di barat ia adalah Kala Gading (Kuning), di utara Ia adalah Kala Ireng (hitam) dan ditengah Ia adalah kala mancawarna.
Realita tertinggi disebut Siwa, yang merupakan kesadaran tak terbatas, yang abadi, tanpa perubahan, tanpa wujud, merdeka, ada dimana-mana, maha kuasa, esa tiada duanya, tanpa awal, tanpa penyebab, tanpa noda, ada dengan sendirinya, selalu bebas, selalu murni dan sempurna. Ia tak dibatasi oleh waktu yang merupakan kebahagiaan dan kecerdasan yang tak terbatas, bebas dari cacat, maha pelaku dan maha mengetahui.
Dewa Siwa adalah Tuhan cinta kasih, yang karunianya tak terbatas, cinta kasihnya tak terbatas dan merupakan penyelamat dan guru. Ia selalu terlibat dalam pembebasan roh-roh dari perbudakan materi. Ia mengenakan wujud seorang guru yang berasal dari cinta kasihnya yang mendalam terhadap umat manusia. Ia menghendaki agar semuanya menghendaki tentang Dia dan mencapa Siwa-pada yang penuh kebahagiaan. Ia menjaga aktifitas dari roh-roh pribadi dan membantunya dalam pergerakan majunya. Ia membebaskan roh-roh pribadi dari blenggu atau ikatan.
Dewa Siwa meresapi seluruh alam dengan Sakti-Nya dan berkarya melalui Sakti-Nya. Sakti merupakan energi dasar dari Dewa Siwa, yang benar-benar merupakan badan dari Dewa Siwa. Diibaratkan seperti tukang periuk adalah penyebab utama dari periuk ; tongkta dan roda adalah penyebab instrumental sedangkan tanah liat adalah penyebab material dari periuk. Demikian pula Dewa Siwa merupakan penyebab pertama dari alam semesta, dan saat itu merupakan penyebab instrumental dan maya merupakan penyebab material.
Siwa memiliki dua aspek, yaitu satu aspek Ia adalah yang tertinggi, tanpa perubahan dan sat-cid-ananda, yang merupakan para Samwit. Niskala Siwa adalah Nirguna Siwa, yang tak terhubung dengan sakti kreatif. Pada aspek lainnya, ia berubah sebagai alam semesta. Penyebab perubahan ini adalah Siwa-Tattwa. Sakti Tattwa adalah aspek dinamis pertama dari Brahman. Siwa-Tattwa dan Sakti-Tattwa ini tidak dapat dipisahkan.
Siwa memiliki delapan sifat menurut pandangan Siwa Sidhanta, yaitu : independen, murni, berpengetahuan sendiri, bebas dari mala, murah hati berlimpah, maha ada, dan kebahagian. Menurut Siwa Sidhanta, Tuhan adalah penyebab operatif alam semesta dan saktinya adalah penyebab instrumentalnya, maya adalah penyebab materialnya. Dari maya dunia ini berevolusi, dan jiwa-jiwa disediakan lokasi-lokasi instrumen dan objek pengetahuan.
Siwa memiliki lima fungsi yaitu : (1) Tirodhana (pengaburan), (2) Srsti (penciptaan), (3) Sthiti (pemeliharan), (4) Samhara (penghancuran), dan (5) anugraha (pemberi anugrah). Siwa menyembunyikan kebenaran dari jiwa-jiwa dan memproyeksikan dunia ini dalam rangka menyelamatkan jiwa melalui anugrah-Nya.
Sesungguhnya kesadaran Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa sesungguhnya satu dan disebut Kenyataan/Hakikat Siwa. Siwa dibedakan menjadi tiga tingkatan adalah untuk memperlihatkan ada tidaknya dan besar kecilnya pengaruh maya. Siwa kehilangan kesaktian, kesucian dan wisesanya karena pangaruh maya maka kesadaran/ hakikat Siwa disebut atma yaitu jiwa yang ada pada setiap manusia. Atma artinya kesadaran yang terpesona. Kata maya berarti khayal, ketidaknyataan.
Hakikat Paramasiwa dapat dijelaskan bahwa Tuhan tidak terpikirkan, murni, abadi, tak terbatas, memenuhi segalanya, jiwa segala jiwa. Beliau tidak memiliki sifat, kosong/sunya. Ia adalah kesadaran tertinggi yang bersifat transenden. Tuhan dalam wujud Paramasiwa tidak bisa dipikirkan sehingga disebut Nirguna Brahman.
Sadasiwatattwa adalah Paramasiwatattwa yang telah terkena pengaruh maya sehingga Ia memiliki guna, sakti dan swabhawa. Guna adalah hukum kemahakuasaan-Nya sendiri. Karena itu Sadasiwa masih berkuasa atas guna-guna-Nya. Dalam keadaan seperti ini Ia disebut Siwa-swayaparah, Paramasiwa yang telah menyatu dengan saktinya, sehingga Beliau dapat mencipta (Utpati), memelihara (Sthiti), dan melebur (Pralina) alam semesta beserta isinya.
Sadasiwa adalah hakikat-Nya kesadaran aktif. Kesadaran aktif-Nya adalah sarwajnana dan sarwakaryakarta. Sadasiwa adalah Bhatara Siwa yang beratribut karena laksananya Saguna. Artinya, Ia yang bersifat serba maha : tahu, sempurna, kuasa, dan karya. Dengan atribut-Nya inilah eksistensi Tuhan diketahui. Tuhan dalam wujud Sadasiwa dalam menjalankan kemahakuasaannya dibantu tiga hal, yaitu: Guna, Sakti, Swabhawa.
Hakikat memuja Tuhan Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan. Memuja Tuhan sebagai Sadasiwa akan mencapai kebahagiaan yang tidak ada awal dan tidak akhirnya. Memuja Tuhan sebagai Paramasiwa mencapai kebahagiaan niskala yang tidak dapat dilukiskan kebahagiaan itu.
Tuhan dalam wujud Sada Siwa memiliki Sakti yang dsebut dengan Cadu Sakti, yaitu empat kekuatan dan keistimewaan Tuhan Sada Siwa secara lahir bathin. Adapun yang dimaksud Cadu Sakti, yaitu:
1. Wibhusakti disebut juga dengan uta-prota, yaitu ada dalam segalanya tetapi keadaannya tidak terpengaruh oleh apa-apa dan tetap suci murni selaanya.
2. Prabhusakti yaitu menguasai segalanya sehingga semua di bawah kendalinya.
3. Jnanasakti yaitu sumber pengetahuan yang abadi sehingga beliau tetap maha tau.
4. Kriyasakti yaitu dapat mengerjakan segala kerja dengan sempurna.
Tuhan dalam wujud Sada Siwa memiliki Swabhawa yang bernama Astaiswarya yang artinya delapan kemahakuasaan dan keistimewaan Tuhan. Adapun yag dimaksud yaitu:
1. Anima : Atom (kecil) sehingga Tuhan dpt meresapi segala benda dan tempat.
2. Laghima :ringan sehingga mudah melayang di angkasa.
3. Mahima : maha besar & agung sehingga menjadi dihormati.
4. Prapthi :serba sukses sehingga kehendaknya dapat tercapai bebas dari hukum karma.
5. Prakamya : dapat terwujud segala keinginannya.
6. Isitwa : Maha pengatur (Rta).
7. Wasitwa : Mahakuasa.
8. Yatrakamawasayitwa : apa saja yang dikehendaki dan dimanapun maka seketika itu sukses.
Agama Hindu di Indonesia adalah agama Hindu yang memuja Bhatara Siwa sebagai Tuhan yang tertinggi. Sanghyang Widhi Wasa adalah sebutan Tuhan yang amat umum. Bhatara Siwa adalah Sanghyang Widhi sendiri. Bhatara Siwa dipuja oleh umat Hindu Indonesia. Ia dipuja sebagai Trimurti yaitu : Brahma, Wisnu dan Iswara, sebagai Panca Brahma yaitu: Sadya/Sadyajata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora dan Isana sebagai Dewata Nawa Sangha yaitu ; Mahesvara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambhu dan Siwa.
Tutur Gong Besi termasuk kelompok naskah yang memuat ajaran yang Siwaistik. Di dalam naskah ini, disebutkan bahwa Bhatara Dalem patut dipuja dengan sepenuh hati, penuh rasa tulus iklas. Dalam setiap pemujaannya, Ida Bhatara Dalem dapat dihadirkan (utpeti puja), distanakan (stiti puja) dan dikembalikan (pralina puja). Persembahan bhakti yang utama kehadapan Ida Bhatara Dalem menyebabkan orang mendapatkan kemuliaan lahir dan batin, dan pada akhirnya akan mencapai surga loka atau siwa loka. Ida Bhatara Dalem adalah Bhatara Guru atau Dewa Siwa itu sendiri sebagai sebutan Ida Sanghayng Widhi dengan segala manifestasi beliau.
Bhatara Dalem ketika berstana di sawah sebagai pengayom para petani dan semua yang ada disawah, maka beliau dipuja dengan sebutan sebagai Dewi Uma. Di jineng atau lumbung padi beliau dipuja dengan sebutan Betari Sri. Kemudian didalam bejana atau tempat beras (pulu), Ida Bhatara Dalem dipuja dengan Sanghyang Pawitra Saraswati. Di dalam periuk tempat nasi atau makanan, maka beliau disebut Sanghyang Tri Merta. Kemudian di Sanggar Kemimitan (Kemulan) yaitu tempat suci keluarga, Ida Bhatara Dalem dipuja sebagai Sanghyang Catur Bhoga. Disebut pula beliau dengan Sanghyang Atma. Pada Kemulan Kanan adalah ayah yakni Sang Pratma (Paratma). Pada Kemulan Kiri adalah Ibu, Sang Siwatma. Pada Kemulan Tengah adalah dirinya atau raganya yakni roh suci yang menjadi ibu dan ayah, nantinya kembali pulang ke Dalem menjadi Sanghyang Tunggal. Ida Bahtara Dalem adalah Sanghyang Paramawisesa, karena semua rasa baik, rasa sakit, rasa sehat, rasa lapar dan sebagainya adalah beliau sumbernya. Beliau adalah asal dari kehidupan, beliau memelihara alam semesta ini, dan beliau adalah penguasa kematian, dalam air, cahaya, udara dan akasa, tidak ada yang dapat melebihi beliau. Sehingga beliau disebut dengan Sanghyang Pamutering Jagat.
Arti Kata Surga Loka atau Siwa Loka : Surga Loka artinya kebahagiaan lahir batin pada tempat yang langgeng atau abadi, Siwa Loka artinya Istana atau Stana Dewa Siwa sebagai manifestasi dari Tuhan, Surga Loka atau Siwa Loka artinya mendapat kebahagiaan lahir batin pada tempat yang langgeng atau abadi disisi Tuhan. Dalam hubungannya dengan sembah bhakti (pemujaan) kehadapan beliau, sebaiknya diketahui nama atau julukan beliau. Karena kemahakuasaan beliau sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, beliau disebut dengan banyak nama, sesuai dengan fungsi dan tempat beliau berstana. Ketika beliau yaitu Ida Bhatara Dalem berstana di Pura Puseh, maka Sanghyang Triyodasa Sakti nama beliau. Ketika berstana di Pura Desa, maka Sanghyang Tri Upasedhana sebutan beliau. Di Pura Bale Agung, beliau dipuja sebagai Sanghyang Bhagawati. Di perempatan jalan raya beliau dipuja sebagai Sanghyang Catur Bhuwana. Ketika beliau berstana di pertigaan jalan raya disebut dengan Sanghyang Sapu Jagat.
Dalam wrehaspati tattwa.50 dijelaskan sebagai berikut :
Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhkha.
Sadasiwa Tattwa ngaranya tanpa wwit tanpa tung-
tung ikang sukha. Paramasiwa Tattwa ngaranya-
niskala tan wenang winastwan ikang sukha.
Sadasiwa Tattwa ngaranya tanpa wwit tanpa tung-
tung ikang sukha. Paramasiwa Tattwa ngaranya-
niskala tan wenang winastwan ikang sukha.
Artinya :
Hakikat memuja Tuhan Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedudukan. Memuja Tuhan sebagai Sadasiwa akan mencapai kebahagiaan yang tidak ada awal dan tidak akhirnya. Memuja Tuhan sebagai Paramasiwa mencapai kebahagiaan niskala yang tidak dapat dilukiskan kebahagiaan itu.

Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusa yaitu jiwa agung alam semesta. Purusa artinya jiwa atau hidup. Tuhan sebagai jiwa dari Bhur Loka disebut Siwa, sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa dari Swah Loka disebut Swah Loka. Pelinggih Padma Tiga sebagai media pemujaan Sang Hyang Tri Purusa yaitu Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa. Hal ini dinyatakan dalam Piagam Besakih dan juga dalam beberapa sumber lainnya seperti dalam Pustaka Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali tahun 1988.
Busana hitam di samping busana warna putih dan merah dari Padma Tiga bukan simbol dari Wisnu, tetapi simbol dari Paramasiwa. Dalam Mantra Rgveda ada dinyatakan, keberadaan Tuhan Yang Mahaesa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian saja. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap karena tidak dijangkau oleh sinar matahari. Tuhan juga maha ada di luar alam semesta yang gelap itu. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Paramasiwa dalam pustaka Wrehaspati Tattwa itu.
Busana hitam Padma Tiga yang berada di kanan atau yang mengarah ke Pura Batu Madeg itu bukan lambang pemujaan Wisnu. Tetapi pemujaan untuk Paramasiwa yang berada di luar alam semesta. Paramasiwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman artinya tanpa sifat atau manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat tuhan Yang Mahakuasa itu. Sedangkan Padma Tiga yang di tengah busananya putih kuning sebagai simbol Tuhan dalam keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan.
Sementara busana warna merah pada Padma Tiga yang di kiri atau yang mengarah pada Pura Kiduling Kreteg bukanlah sebagai lambang Dewa Brahma. Warna Merah dalam Pelinggih Padma Tiga yang di bagian kiri memang arahnya ke Pura Kiduling Kreteg. Padma Tiga yang berwarna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Stithi dan Pralina. Dan hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti. Untuk di kompleks Pura Besakih sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg. Sebagai Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan sebagai Batara Iswara di Pura Gelap.
Mengapa ajaran agama Hindu demikian serius mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan Yang Mahaesa itu dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti. Salah satu ciri hidup manusia melakukan dinamika hidup. Memuja Tuhan sebagai Tri Murti untuk menuntun umat manusia agar dalam hidupnya ini selalu berdinamika yang mampu memberikan kontribusi pada kemajuan hidup menuju hidup yang semakin baik, benar dan tepat.
Pemujaan pada Dewa Tri Murti itu agar dinamika hidup manusia itu berada di koridor Utpati, Stithi dan Pralina. Maksudnya menciptakan sesuatu yang patut diciptakan disebut Utpati, memelihara serta melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi disebut Stithi. Serta meniadakan sesuatu yang sudah usang yang memang sudah sepatutnya dihilangkan yang disebut Pralina.
Demikianlah keberadaan Pelinggih Padma Tiga yang berada di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih. Di Mandala kedua ini sebagai simbol bertemunya antara bhakti dengan sweca. Bhakti adalah upaya umat manusia atau para bhakta untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan sweca dalam bahasa Bali maksudnya suatu anugerah Tuhan kepada para bhakta-nya.
Sweca itu akan diterima oleh manusia atau para bhakta sesuai dengan tingkatan bhakti-nya kepada Tuhan. Bentuk bhakti pada Tuhan di samping secara langsung juga seyogianya dilakukan dalam wujud asih dan punia. Asih adalah bentuk bhakti pada Tuhan dengan menjaga kelestarian alam lingkungan dengan penuh kasih sayang. Karena alam semesta ini adalah badan nyata dari Tuhan. Sedangkan punia adalah bentuk bhakti pada Tuhan dalam wujud pengabdian pada sesama umat manusia sesuai dengan swadharma kita masing-masing.
Tuhan telah menciptakan Rta sebagai pedoman atau norma untuk memelihara dan melindungi alam ini dengan asih. Tuhan juga menciptakan dharma sebagai pedoman untuk melakukan pengabdian pada sesama manusia. Dengan konsep asih, punia dan bhakti itulah umat manusia meraih sweca-nya Tuhan yang dilambangkan di Pura Besakih di Mandala kedua ini. Di Mandala ketiga ini tepatnya di sebelah kanan Padma Tiga itu adalah bangunan suci yang disebut Bale Kembang Sirang.
Di Bale Kembang Sirang inilah berlangsung upacara pedanaan saat ada upacara besar di Besakih seperti saat ada upacara Batara Turun Kabeh maupun upacara Manca Walikrama, apalagi Upacara Eka Dasa Ludra.
Upacara Pedanaan yang dipusatkan di Bale Kembang Sirang inilah sebagai simbol bahwa antara bhakti umat dengan sweca-nya Hyang Widhi bertemu. Di Pura Penataran Agung Besakih sebagai simbol Sapta Loka tergolong Pura Luhuring Ambal-Ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyogianya melakukan bhakti pada Tuhan dan bagaimana Tuhan menurunkan sweca pada umat yang dapat melakukan bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan dengan sangat menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan konsep Weda, kitab suci agama Hindu.
EmoticonEmoticon